Wacana untuk mendegradasi kekuatan Iran melalui strategi containment kembali mengemuka di tengah meningkatnya ketegangan kawasan Timur Tengah. Skema ini disebut-sebut mirip dengan apa yang pernah diterapkan terhadap Libya dua dekade silam, di mana Muammar Khaddafi dipaksa menyerahkan seluruh program nuklirnya, hanya untuk kemudian dihancurkan oleh kekuatan global yang sebelumnya berjanji memberikan jaminan keamanan. Kini, sejumlah pihak menilai Iran tengah dihadapkan pada skenario serupa, di mana tekanan diplomatik dan ancaman militer menjadi alat tawar untuk memaksa Teheran bertekuk lutut.
Gagasan menggunakan model Libya terhadap Iran bukan hal baru. Sejak 2012, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sudah menyuarakan agar Iran mengalami perlakuan seperti Libya, yaitu menyerahkan seluruh fasilitas nuklirnya tanpa syarat. Mantan Presiden AS Donald Trump pada 2018 pun menyuarakan hal senada, menyebut Iran harus mengikuti jejak Khaddafi jika ingin terhindar dari nasib serupa. Saat itu, tekanan internasional memang sedang menguat terhadap program nuklir Iran yang dituduh memiliki ambisi militer.
Pasca serangan ke Gaza pada Oktober 2023, Israel makin gencar mendorong pembentukan tatanan baru di Timur Tengah yang sesuai dengan kepentingan strategis mereka. Salah satu prioritas utama Tel Aviv adalah perubahan rezim di Iran, yang mereka yakini bisa tercapai jika terjadi ketegangan sosial politik akibat tekanan eksternal dan serangan militer terbatas terhadap fasilitas nuklir Iran. Israel tampaknya meyakini bahwa skenario semacam itu akan memicu kekacauan domestik di Iran.
Namun, hingga kini Amerika Serikat belum menunjukkan komitmen eksplisit untuk ambil bagian dalam serangan langsung ke Iran. Meski sejumlah pejabat di Washington menegaskan bahwa semua opsi terbuka, termasuk aksi militer, posisi resmi AS terhadap program nuklir Iran masih ambigu. Apakah AS ingin Iran sepenuhnya meninggalkan program nuklirnya, atau cukup membatasi pengayaan uranium di bawah ambang batas tertentu, masih menjadi perdebatan di internal Gedung Putih dan Pentagon.
Pengalaman Libya justru memberikan pelajaran pahit bagi banyak negara. Setelah Khaddafi menyerahkan program nuklirnya pada 2003 dan membuka diri terhadap inspeksi internasional, justru beberapa tahun kemudian Libya dihancurkan melalui agresi udara yang dipimpin NATO pada 2011. Negara itu porak-poranda, Khaddafi tewas, dan Libya hingga kini belum pernah kembali stabil. Banyak analis menyebut, model Libya justru menjadi alasan kuat bagi Korea Utara untuk bersikukuh mempertahankan senjata nuklirnya.
Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, secara terbuka menyebutkan bahwa nasib Khaddafi adalah peringatan bagi negara-negara yang mempercayai janji Barat. Korea Utara melihat, tanpa senjata nuklir, sebuah rezim akan rentan terhadap intervensi militer asing. Karena itulah Pyongyang tetap mempertahankan arsenal nuklirnya sebagai jaminan eksistensi. Situasi ini menjadi cermin bagi Iran, yang kini menghadapi ancaman containment melalui tekanan politik, sanksi ekonomi, dan kemungkinan operasi militer terbatas.
Ramzy Ezzeldin Ramzy, mantan perwakilan Mesir untuk Badan Energi Atom Internasional (IAEA) di Wina, pernah menjadi saksi langsung proses pembongkaran program nuklir Libya. Dalam tulisannya di Majalla, ia mengingatkan bahwa penerapan model Libya ke Iran tidak realistis. Iran, dengan kapasitas teknologi, jaringan diplomatik, serta basis ideologis yang kuat, berbeda jauh dari kondisi Libya di bawah Khaddafi. Selain itu, kondisi geopolitik kawasan saat ini jauh lebih rumit dibanding awal 2000-an.
Israel disebut-sebut tetap mendorong agar skema Libya dijadikan acuan utama dalam negosiasi nuklir Iran. Namun upaya tersebut mendapatkan perlawanan dari sejumlah pihak di Eropa dan Rusia yang khawatir model seperti itu hanya akan memperburuk ketegangan kawasan dan mendorong perlombaan senjata di Timur Tengah. Bahkan sejumlah analis Barat menilai bahwa pendekatan keras terhadap Iran justru akan mempersulit upaya diplomasi dan memperkuat faksi-faksi konservatif di Teheran.
Sejak kesepakatan nuklir JCPOA dibatalkan sepihak oleh AS pada 2018, Iran perlahan meningkatkan kembali aktivitas nuklirnya, termasuk pengayaan uranium di atas batas yang ditetapkan. Langkah ini membuat ketegangan dengan Israel dan sekutu Barat terus meningkat. Namun, di saat yang sama, Iran memperkuat hubungan strategisnya dengan Rusia, China, dan sejumlah negara Teluk yang mulai mengambil jarak dari AS. Hal ini membuat strategi containment terhadap Iran menjadi lebih kompleks.
Sejumlah diplomat senior di Eropa mengingatkan bahwa jika containment model Libya diterapkan terhadap Iran, maka potensi destabilisasi kawasan bisa jauh lebih besar. Berbeda dengan Libya, Iran memiliki milisi proksi yang tersebar di Lebanon, Suriah, Yaman, dan Irak. Iran juga memiliki kemampuan rudal balistik jarak menengah yang bisa menjangkau pangkalan-pangkalan militer AS dan sekutunya di Timur Tengah, termasuk Israel dan Teluk Persia. Konsekuensinya, serangan terhadap Iran bisa memicu perang regional skala penuh.
Di sisi lain, Iran juga telah membangun sistem pertahanan udara modern dan jaringan keamanan siber yang kuat. Hal ini menjadikan opsi serangan langsung terhadap fasilitas nuklir Iran tidak semudah operasi terhadap Libya. Selain itu, posisi Iran di jantung geopolitik Timur Tengah, dengan jalur-jalur strategis seperti Selat Hormuz, membuatnya memiliki daya tawar tinggi dalam percaturan global, khususnya terkait pasokan minyak dunia.
Ramzy Ezzeldin juga mengingatkan bahwa keterlibatan terlalu dalam dalam konflik Iran berisiko menciptakan instabilitas jangka panjang di kawasan. Pengalaman Irak dan Libya menunjukkan bahwa kejatuhan rezim tanpa perencanaan transisi yang matang hanya akan menghasilkan kekacauan, perang saudara, dan munculnya kelompok-kelompok ekstremis baru. Iran, dengan sejarah panjang, basis ideologis kuat, dan populasi besar, tidak bisa disamakan begitu saja dengan Libya.
Wacana model Libya untuk Iran pun memancing diskusi hangat di berbagai forum internasional. Sebagian pihak berpendapat bahwa jika model itu dipaksakan, maka Iran justru akan mempercepat pengembangan senjata nuklirnya secara sembunyi-sembunyi. Hal ini serupa dengan pengalaman Pakistan dan India pada 1990-an, di mana tekanan internasional justru mendorong dua negara itu menyempurnakan program nuklirnya tanpa pengawasan IAEA.
Sejumlah analis Timur Tengah meyakini bahwa ancaman containment dan serangan militer terhadap Iran hanyalah bagian dari strategi cipta kondisi untuk mendikte ulang tatanan kawasan. Tujuannya bukan sekadar soal nuklir, tetapi memutus pengaruh Iran di Levant dan Teluk, serta menekan ekonomi Iran hingga titik krisis domestik. Israel dan sebagian hawkish di Washington diperkirakan terus memainkan narasi ancaman nuklir Iran untuk menggalang dukungan internasional.
Genosida Israel di Gaza yang terus berlanjut tanpa kemampuan PBB untuk menghentikannya sejak 2023 menjadi momentum bagi Israel untuk memperluas manuvernya terhadap Iran. Dengan memanfaatkan sentimen global atas isu keamanan regional, Tel Aviv terus membangun aliansi tak resmi dengan sejumlah negara Arab yang sebelumnya enggan berhadapan langsung dengan Teheran. Sementara itu, Iran membaca situasi ini sebagai bagian dari strategi isolasi jangka panjang yang pernah dialami oleh Libya sebelum 2011.
Sejumlah sumber diplomatik di Wina menyebut bahwa Iran saat ini tetap bersedia bernegosiasi, namun menolak pendekatan total dismantlement seperti yang diterapkan terhadap Khaddafi. Iran lebih memilih kesepakatan bertahap, dengan jaminan ekonomi dan pengakuan terhadap haknya memiliki teknologi nuklir damai. Namun, hingga kini, posisi AS dan Israel tetap bersikukuh pada tuntutan pembongkaran total.
Apakah skenario Libya akan benar-benar diterapkan terhadap Iran, atau sekadar ancaman politik untuk memaksa konsesi, masih menjadi tanda tanya besar. Yang pasti, pengalaman pahit Khaddafi menjadi catatan penting bagi Iran dan negara-negara lain yang memiliki program nuklir di kawasan konflik. Pelajaran Libya membuktikan bahwa menyerah tanpa jaminan kuat hanya akan mempercepat kehancuran sebuah negara.
Dibuat oleh AI, baca info selanjutnya
Blogger Comment
Facebook Comment