Sikap Prancis terhadap ketegangan terbaru antara Israel dan Iran kembali menjadi sorotan dunia. Negara yang selama ini dikenal sebagai salah satu kekuatan diplomatik Eropa itu memperlihatkan posisi yang ambigu, bahkan terkesan memainkan dua muka dalam isu sensitif ini. Secara terbuka, Presiden Emmanuel Macron menyatakan keprihatinan atas potensi perang besar di kawasan, sembari menegaskan bahwa Prancis tidak ingin Iran memiliki senjata nuklir. Namun di sisi lain, Paris justru memberi lampu hijau terhadap sejumlah langkah Israel dan sekutunya di lapangan.
Hal serupa pernah terjadi dalam konflik Suriah. Saat itu, Prancis di hadapan publik internasional menyatakan menghormati kedaulatan pemerintahan Bashar al-Assad. Namun di balik layar, pemerintah Prancis aktif berkoordinasi dengan Amerika Serikat dan koalisi untuk memuluskan kebijakan containment terhadap Damaskus. Salah satu bukti paling nyata adalah pendirian pangkalan militer rahasia di Al Tanf, Suriah selatan, yang hingga kini masih beroperasi di luar persetujuan pemerintah Suriah.
Lebih jauh, skandal perusahaan semen Lafarge menjadi aib besar bagi kredibilitas Prancis di kawasan. Terbukti melalui penyelidikan pengadilan internasional, Lafarge diketahui membiayai kelompok-kelompok bersenjata di Suriah demi kelangsungan operasional pabrik mereka. Dana itu disalurkan atas sepengetahuan dan dukungan badan intelijen Prancis, yang memanfaatkan jalur tersebut untuk memetakan kekuatan di medan konflik.
Kini, publik internasional bertanya-tanya apakah standar ganda semacam itu akan kembali diterapkan Paris dalam menghadapi Iran. Apalagi hubungan ekonomi antara Prancis dan Iran cukup erat, terutama di sektor otomotif, minyak, transportasi, dan keuangan. Data menunjukkan bahwa pada 2005 saja, Prancis menjadi pemasok terbesar keenam bagi Iran dengan penguasaan 6,25% pasar ekspor. Produk andalan seperti Peugeot dan Renault telah menjadi bagian penting dari industri otomotif Iran selama puluhan tahun.
Investasi Prancis di sektor migas Iran juga tidak kecil. Sekitar 3% dari total impor hidrokarbon Prancis berasal dari Iran, membuat posisi Teheran cukup signifikan bagi kestabilan energi Prancis. Sejumlah perjanjian proteksi investasi bahkan sudah diteken sejak awal 2000-an, termasuk kunjungan resmi antarmenteri yang mempererat hubungan dagang kedua negara. Sayangnya, hubungan ini selalu tergantung pada dinamika politik dan tensi seputar program nuklir Iran.
Ketika ketegangan antara Israel dan Iran makin memanas setelah genosida Israel kepada warga Palestina di Gaza pada Oktober 2023, Prancis terlihat berdiri di dua kaki. Di satu sisi, Macron menyatakan ketegasannya bahwa Iran tidak boleh memiliki senjata nuklir. Di sisi lain, ia menolak opsi serangan militer terbuka terhadap Iran karena khawatir akan menciptakan kekacauan di Timur Tengah. Sikap ini langsung menuai kritik keras dari Israel, yang menuduh Macron melakukan "perang salib terhadap negara Yahudi".
Israel secara terang-terangan menuduh Prancis bermain di wilayah abu-abu, mencoba meredam ketegangan di depan kamera, namun di belakang layar tetap berkoordinasi dengan AS dan beberapa negara Arab untuk menekan Iran. Paris disebut-sebut terlibat dalam sejumlah pertemuan rahasia terkait penentuan skenario containment terhadap Iran, meskipun Prancis secara resmi menolak aksi militer.
Sejumlah pengamat politik internasional menyebut sikap ambigu Prancis ini tidak lepas dari kepentingan ekonominya di kawasan. Dengan jaringan bisnis yang kuat di Iran, Prancis ingin tetap menjaga peluang ekonominya, tanpa terlalu merusak relasi strategisnya dengan AS, Israel, dan sekutu Teluk. Situasi ini menempatkan Paris dalam posisi serba salah: antara keuntungan ekonomi dan tuntutan aliansi geopolitik.
Beberapa laporan media Timur Tengah menyebutkan bahwa intelijen Prancis telah meningkatkan aktivitasnya di kawasan Teluk Persia dalam beberapa bulan terakhir. Hal ini menandakan bahwa meskipun Paris menolak serangan militer terbuka, mereka tetap ingin mengontrol situasi di lapangan agar tetap sejalan dengan kepentingan mereka. Kondisi ini sangat mirip dengan pola operasi mereka di Suriah beberapa tahun silam.
Pakar hubungan internasional menilai bahwa Prancis selama ini memang kerap memainkan peran ganda dalam konflik Timur Tengah. Tidak hanya di Suriah dan Libya, tetapi juga dalam urusan Yaman dan Lebanon. Prancis kerap tampil sebagai mediator damai di hadapan PBB, namun diam-diam mendukung operasi-operasi militer koalisi Barat di wilayah yang sama.
Situasi ini membuat Iran bersikap hati-hati dalam merespons pernyataan Prancis. Teheran menyadari bahwa di balik retorika damai Macron, terdapat kepentingan lain yang bisa saja membahayakan posisi Iran di kawasan. Beberapa pejabat Iran menyebut Prancis sebagai mitra licik yang sulit dipercaya, mengingat rekam jejaknya di Suriah dan Libya.
Selain itu, kehadiran perusahaan-perusahaan Prancis di Iran juga menjadi salah satu instrumen pengaruh Paris di dalam negeri Iran. Lewat proyek otomotif dan energi, Prancis punya akses terhadap data ekonomi strategis Iran. Kondisi ini bisa dimanfaatkan Paris untuk menekan atau mempengaruhi keputusan politik Teheran jika diperlukan, sebagaimana yang pernah terjadi di masa sanksi internasional era 2010-an.
Sikap ambigu ini pula yang membuat sejumlah negara Eropa Timur dan Rusia mulai meragukan ketulusan Prancis dalam upaya menjaga stabilitas kawasan. Beberapa negara bahkan menuding Prancis sebagai aktor yang justru memperkeruh situasi dengan memainkan isu nuklir Iran sebagai alat negosiasi geopolitik dan dagang. Bahkan, Rusia secara tidak langsung menyentil Paris agar berhenti bermain di dua kaki, sebagaimana terkait isu perang Ukraina-Rusia.
Apalagi, pengalaman buruk di Suriah masih membekas di ingatan dunia. Banyak pihak mengingat bagaimana Prancis menjanjikan stabilitas usai mendukung kelompok bersenjata di Suriah, namun yang terjadi justru perang saudara berkepanjangan. Hal inilah yang membuat kekhawatiran skenario serupa akan diterapkan terhadap Iran kian menguat.
Sejumlah pengamat percaya bahwa Prancis akan terus memanfaatkan posisinya di Dewan Keamanan PBB untuk menjaga pengaruhnya atas isu Iran. Di satu sisi, Paris akan tampil sebagai penjaga perdamaian, di sisi lain tetap menyokong langkah containment terhadap Teheran demi menjaga aliansi geopolitik dengan Barat dan Teluk.
Pola ini diprediksi akan terus berlangsung selama isu nuklir Iran belum menemukan solusi permanen. Prancis kemungkinan besar akan tetap menjaga hubungan ekonominya dengan Iran sembari secara diam-diam berkoordinasi dengan Washington dan Tel Aviv. Model dua muka ini telah menjadi ciri khas diplomasi Paris di Timur Tengah.
Krisis terbaru ini pun kembali menunjukkan betapa standar ganda menjadi bagian tak terpisahkan dari kebijakan luar negeri Prancis di kawasan. Di satu sisi bicara damai, di sisi lain diam-diam mempersenjatai lawan. Jika pola ini berlanjut, tak mustahil Teheran akan mengambil langkah politik agar tidak menjadi korban permainan politik sebagaimana Pyongyang dan Damaskus yang telah lama berhenti mempercayai janji-janji Paris.
Blogger Comment
Facebook Comment