Wajah Dunia Baru Jika Khamenei Tewas di Tangan Israel


Seorang pejabat senior Israel belum lama ini mengisyaratkan bahwa Ayatollah Ali Khamenei, Pemimpin Tertinggi Iran, bisa menjadi target langsung dalam operasi militer intensif Israel terhadap infrastruktur nuklir dan militer Tehran.
Isyarat ini mengejutkan banyak pihak, sebab selama ini kepala negara jarang disentuh secara terang-terangan dalam konflik modern. Pernyataan ini memicu kekhawatiran, bukan hanya soal nasib Iran, tapi juga tentang arah tatanan dunia ke depan.

Jika skenario itu terjadi, pembunuhan Khamenei akan menjadi preseden internasional baru. Dunia akan menyaksikan bagaimana seorang pemimpin negara yang masih aktif dan berkuasa dibunuh secara terbuka oleh kekuatan asing tanpa adanya konsekuensi hukum internasional yang berarti. Terlebih jika negara-negara pemilik hak veto seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis justru memberikan legitimasi moral dan politik terhadap aksi tersebut.

Dalam kondisi ini, PBB praktis tak akan mampu bertindak tegas. Tiga negara pemilik veto tersebut selama ini dikenal sebagai sekutu erat Israel dan diperkirakan akan memblokir setiap upaya sanksi atau kecaman resmi terhadap Tel Aviv. Dunia akan melihat bahwa kekuasaan absolut di tangan beberapa negara bisa membentuk tatanan politik global baru di mana hukum internasional menjadi sekadar simbol tanpa kekuatan eksekusi nyata.

Situasi ini akan mengguncang psikologi politik banyak negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Negara-negara yang selama ini menolak menjalin hubungan diplomatik dengan Israel kemungkinan besar mulai bersikap lunak. Ketakutan bahwa kepala negara mereka bisa menjadi sasaran berikutnya akan membuat beberapa pemimpin mulai menawarkan konsesi politik maupun ekonomi demi meredakan ketegangan dengan Israel dan sekutunya.

Normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel pun bisa melonjak drastis. Negara-negara yang sebelumnya keras terhadap Israel, bahkan yang belum pernah mengakui eksistensinya, mungkin terpaksa membuka saluran komunikasi politik dan ekonomi. Meski semata-mata demi menjaga keselamatan elite pemerintahannya dari ancaman serupa.

Pembunuhan Khamenei juga akan membuka jalan bagi Israel untuk tampil sebagai negara paling ditakuti di kawasan Timur Tengah. Israel tak lagi sekadar kekuatan militer regional, tapi juga aktor global yang bisa menentukan arah kepemimpinan negara-negara musuhnya. Model ini akan meniru pola dominasi Amerika Serikat dalam invasi Irak 2003, saat Presiden Saddam Hussein digulingkan.

Dampak lainnya, negara-negara kawasan Teluk yang selama ini menyimpan ketegangan dengan Iran, bisa memperkuat aliansi diam-diam dengan Israel. Mereka melihat kesempatan strategis untuk menempatkan posisinya di peta politik regional yang baru.

Namun skenario ini tentu tak akan mulus. Pembunuhan Khamenei akan memicu gelombang balasan keras dari jaringan militer Iran. Kelompok seperti Hizbullah di Lebanon, Houthi di Yaman, dan milisi Hashd al-Shaabi di Irak kemungkinan besar akan melancarkan serangan rudal dan drone ke wilayah Israel serta kepentingan AS di Timur Tengah.

Dunia pun menghadapi dilema baru: apakah membiarkan Israel menuntaskan ambisinya, atau menghentikannya sebelum api perang regional berubah jadi konflik global. Pertanyaannya, apakah PBB masih punya otoritas untuk mengendalikan situasi ketika pemilik veto berpihak pada agresor?

Di dalam negeri Iran, pembunuhan Khamenei bisa memicu perang saudara. Kelompok moderat, garis keras, dan oposisi diaspora akan saling berebut pengaruh. Iran bisa terpecah menjadi beberapa kekuatan bersenjata, mirip situasi Libya pasca-Khadafi. Kondisi ini akan menjadikan Iran ladang perebutan pengaruh oleh kekuatan asing.

Israel juga harus menanggung risiko baru. Meski berhasil menyingkirkan Khamenei, Tel Aviv akan jadi target utama serangan balasan dari berbagai penjuru. Serangan rudal massal, infiltrasi drone, hingga operasi sabotase di dalam negeri Israel akan meningkat tajam.

Tak hanya di Timur Tengah, dunia Muslim dari Asia Tengah, Pakistan, hingga Indonesia akan mengecam aksi Israel. Sentimen anti-Israel bisa meledak, memicu boikot produk Barat dan demonstrasi besar-besaran. Meski begitu, tanpa dukungan dari negara-negara veto PBB, semua protes itu hanya jadi riak tanpa dampak diplomatik.

Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis akan memainkan peran penting dalam membentuk narasi pascakejadian. Mereka mungkin menyebut aksi itu sebagai langkah pencegahan terhadap ancaman nuklir global, mengulang skenario yang pernah dipakai saat invasi Irak.

Skenario tatanan dunia baru ini bukan hanya soal kekuatan Israel, tapi tentang munculnya tren negara kuat boleh menghabisi pemimpin negara lain jika dianggap membahayakan stabilitas kawasan. Ancaman terhadap satu kepala negara bisa jadi pesan terbuka bagi rezim-rezim yang tak tunduk pada kekuatan besar.

Jika situasi ini tak ditanggapi serius oleh komunitas internasional, masa depan hukum internasional dan kedaulatan negara akan berada di ujung tanduk. Dunia akan memasuki era di mana kekuatan militer menentukan siapa boleh hidup, siapa boleh lenyap.

Di sisi lain, skenario ini bisa menjadi momentum bagi negara-negara nonblok untuk bersatu. Mereka harus menekan PBB agar menegaskan kembali prinsip non-intervensi dan perlindungan kepala negara dari ancaman pembunuhan politik.

Israel tentu akan memanfaatkan momentum ini untuk menormalisasi hubungannya dengan lebih banyak negara. Dalam hitungan bulan, mungkin saja negara-negara Muslim moderat mulai melunak, membuka kedutaan, atau menjalin perjanjian dagang, demi menjaga stabilitas dalam negeri.

Pertanyaannya, sampai kapan dunia bisa membiarkan preseden seperti ini berulang tanpa batas? Sebab hari ini mungkin Iran, tapi besok bisa saja negara mana pun yang berani menentang hegemoni Israel dkk.

Dibuat oleh AI
Share on Google Plus

About marbun

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment