Ketika IAEA Jadi Alat Agresi Nuklir Global

Serangan Israel ke Iran pekan ini kembali memunculkan satu ironi besar dalam tatanan internasional. Di tengah konflik itu, sorotan tajam justru mengarah ke peran lembaga pengawas nuklir dunia, International Atomic Energy Agency (IAEA), yang dianggap Iran ikut berperan dalam membenarkan agresi negara non-NPT terhadap negara anggota NPT. Situasi ini mempertegas bahwa standar ganda masih merajalela dalam pengelolaan isu nuklir global.

Iran secara tegas menuduh IAEA menyembunyikan kebenaran terkait program nuklir damai yang mereka jalankan. Pernyataan itu dilontarkan setelah Direktur Jenderal IAEA, Rafael Grossi, mengatakan lembaganya tidak memiliki bukti bahwa Iran secara sistematis membuat senjata nuklir. Namun pernyataan ini terlambat, karena sebelumnya laporan bias IAEA telah dimanfaatkan oleh AS dan sekutunya untuk mendorong resolusi yang mendiskreditkan Iran.

Lebih menyakitkan lagi, resolusi tersebut kemudian dijadikan dalih oleh Israel untuk melakukan serangan udara ke fasilitas nuklir Iran. Padahal, Israel bukan anggota Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dan selama ini tidak pernah transparan soal program nuklirnya. Di sisi lain, Iran yang justru anggota resmi NPT justru menjadi korban agresi, didahului oleh framing negatif dari laporan IAEA.

Pihak Iran menyebut tindakan Grossi membuat IAEA berubah dari badan pengawas independen menjadi alat politik kekuatan besar dunia. Iran menilai lembaga ini justru memberikan legitimasi tidak langsung bagi negara-negara di luar NPT untuk menyerang negara anggota yang dinilai tidak sejalan dengan kepentingan geopolitik mereka. Hal ini dianggap preseden buruk bagi kredibilitas badan PBB tersebut.

Dalam sejarahnya, IAEA memang kerap dikritik karena ketidakadilan sikapnya dalam menyikapi isu nuklir global. Negara seperti India, Pakistan, dan Israel yang berada di luar NPT justru dibiarkan mengembangkan senjata nuklir tanpa sanksi internasional. Sementara Iran, Irak di era Saddam Hussein, dan Libya di bawah Gaddafi mengalami tekanan keras meski statusnya sebagai anggota resmi NPT.

Ironi ini semakin terlihat ketika Israel, yang selama ini menyembunyikan kemampuan nuklirnya di bawah kebijakan ambigu, dibiarkan bebas melakukan agresi militer ke negara tetangga dengan alasan mencegah ancaman nuklir. Padahal, tindakan seperti itu justru bertentangan dengan prinsip dasar hukum internasional dan piagam PBB tentang larangan agresi.

Sikap IAEA dan negara Barat dalam konflik ini seperti mengamini bahwa negara yang memiliki kedekatan strategis dan akses politik global bisa melanggar aturan internasional tanpa konsekuensi berarti. Sementara negara yang berusaha mandiri secara strategis, meski mengikuti aturan main, justru dibungkam dengan berbagai dalih keamanan global.

Iran menilai framing negatif IAEA dan resolusi sepihak yang didorong AS dan Eropa hanya alat politik untuk menekan negara yang tak sejalan. Lebih parah, framing ini kemudian menjadi pembenaran bagi tindakan militer sepihak, seperti yang dilakukan Israel ke Iran, yang secara resmi masih memiliki hak damai atas program nuklir sipil sesuai Pasal 4 NPT.

Pasal 4 NPT secara tegas menyebut setiap anggota memiliki hak untuk mengembangkan teknologi nuklir untuk tujuan damai. Namun dalam praktiknya, pasal ini kerap dikesampingkan ketika menyangkut negara-negara di luar orbit geopolitik Barat. IAEA dinilai terlalu tunduk pada tekanan politik ketimbang menjalankan fungsinya secara objektif.

Serangan ke Iran menjadi bukti bahwa senjata nuklir kini bukan hanya soal pertahanan, tapi alat politik dan eksistensi negara di kancah internasional. Negara yang memiliki deterrent nuklir atau didukung kekuatan besar bebas bertindak tanpa khawatir diserang, sementara negara tanpa senjata strategis mudah dihancurkan dengan dalih apapun.

Iran menyebut tindakan IAEA yang bias ini punya konsekuensi besar bagi stabilitas global. Laporan-laporan berat sebelah dapat memicu perang, membenarkan agresi, dan melemahkan tatanan hukum internasional. Iran menuntut adanya pertanggungjawaban moral dan politik atas framing yang membuka jalan bagi perang agresi.

Konflik ini membuka fakta bahwa banyak rezim internasional bersikap selektif. Negara seperti Korea Utara yang memiliki senjata nuklir bahkan tak pernah disentuh agresi militer langsung. Sedangkan Iran yang belum terbukti membuat senjata justru diserang atas dasar laporan yang tak akurat.

Di satu sisi, ketimpangan ini memicu negara-negara berkembang mempertimbangkan ulang strategi pertahanannya. Banyak yang mulai sadar, tanpa deterrent strategis, kedaulatan mereka bisa dihancurkan kapan saja lewat keputusan politik negara besar yang didukung lembaga internasional.

Dalam banyak pernyataan, Iran menegaskan bahwa program nuklirnya murni untuk kebutuhan energi dan riset kedokteran. Sayangnya, propaganda yang dilegalkan IAEA telah membentuk opini global seolah Iran ancaman, sementara ancaman nyata dari negara non-NPT justru tak disentuh.

IAEA selama ini juga tak pernah mendesak Israel membuka program nuklirnya untuk inspeksi internasional, meski keberadaannya sudah lama menjadi rahasia umum. Hal ini memunculkan kesan kuat bahwa lembaga ini diperalat demi kepentingan geopolitik kekuatan Barat dan sekutunya di kawasan.

Kasus Iran mengingatkan kembali pada tragedi Irak 2003, ketika laporan intelijen palsu soal senjata pemusnah massal dipakai AS sebagai alasan invasi. Hasilnya, jutaan rakyat sipil tewas dan negara itu hancur. Kini, skenario serupa tampaknya tengah diulang lewat framing terhadap Iran.

Sebagai anggota NPT, Iran memiliki hak untuk mengembangkan energi nuklir damai. Tapi bias politik IAEA menghilangkan hak tersebut lewat laporan-laporan manipulatif yang dimanfaatkan untuk menciptakan pretext agresi militer.

Ke depan, dunia internasional perlu mengevaluasi ulang peran IAEA. Badan ini seharusnya independen, bukan alat politik kelompok tertentu. Jika tidak, kredibilitasnya akan terus runtuh dan dunia makin kehilangan harapan pada tatanan hukum internasional yang adil.

Konflik Iran-Israel saat ini menjadi cermin rapuhnya sistem internasional yang masih dikuasai politik standar ganda. Jika tidak segera dibenahi, ketimpangan ini hanya akan memicu ketegangan baru dan mendorong lebih banyak negara untuk mengembangkan deterrent-nya sendiri. Sebab saat hukum tak lagi melindungi, kekuatanlah yang bicara.

Share on Google Plus

About marbun

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment