Rusia-Tiongkok Berebut Pasar Energi Afrika

Kompetisi pengaruh ekonomi di Afrika kini merambah sektor energi, khususnya dalam bidang pembangunan pembangkit listrik. Dua kekuatan besar dunia, Rusia dan Tiongkok, tengah bersaing sengit menawarkan teknologi, pendanaan, dan dukungan politik demi menguasai pasar energi benua itu. Kedua negara berlomba memperluas proyek pembangkit listrik tenaga nuklir, hidro, dan panas bumi di berbagai negara Afrika.

Rusia baru saja menandatangani perjanjian kerja sama nuklir dengan Burkina Faso pada pertengahan Juni 2025 di sela Forum Ekonomi Internasional St. Petersburg. Kesepakatan ini menjadi langkah strategis Moskow dalam memperluas jejak energi di kawasan Sahel yang selama ini didominasi negara-negara Barat. Melalui perusahaan negara Rosatom, Rusia menawarkan proyek pembangkit listrik tenaga nuklir mini dan program pelatihan SDM lokal.

Perjanjian itu disambut antusias Burkina Faso yang tengah mengalami krisis listrik parah akibat ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Menteri Energi Burkina Faso, Yacouba Zabré Gouba, menilai kerja sama ini sebagai solusi jangka panjang yang tidak hanya menyentuh infrastruktur, tapi juga alih teknologi. Rusia pun menjanjikan transfer teknologi, pelatihan tenaga ahli, hingga pengamanan radiasi dalam proyek ini.

Di sisi lain, Tiongkok tetap menjadi kekuatan utama di Afrika dalam hal proyek pembangkit listrik. Melalui perusahaan seperti China National Nuclear Corporation (CNNC) dan State Power Investment Corporation, Tiongkok telah lebih dahulu membangun pembangkit listrik tenaga air, tenaga surya, dan beberapa proyek nuklir skala kecil di benua itu. Proyek bendungan, seperti di Ethiopia dan Angola, menjadi andalan Beijing.

Dari sisi pendanaan, Tiongkok jelas lebih unggul. Mereka menawarkan pinjaman lunak dan skema build-operate-transfer yang lebih menarik bagi banyak negara Afrika. Selain itu, keterlibatan Tiongkok sering kali tidak diikuti persyaratan politik yang ketat, berbeda dengan pendekatan negara-negara Barat maupun Rusia yang membawa agenda geopolitik lebih eksplisit.

Namun, keunggulan Rusia terletak pada teknologi nuklirnya yang dikenal efisien untuk pembangkit kecil-menengah, cocok untuk negara-negara Afrika dengan infrastruktur terbatas. Rosatom, misalnya, menawarkan reaktor nuklir modular kecil (SMR) yang bisa ditempatkan di wilayah terpencil dengan biaya operasional lebih rendah dan keamanan radiasi lebih terkontrol.

Sejak Forum Rusia-Afrika kedua di St. Petersburg tahun lalu, Moskow memang agresif memperluas diplomasi energinya di Afrika. Beberapa negara seperti Mali, Sudan, dan Zimbabwe telah menandatangani nota kesepahaman terkait proyek nuklir damai. Burkina Faso menjadi salah satu yang paling konkret dalam merealisasikan kesepakatan tersebut.

Meski begitu, Tiongkok tetap unggul dalam hal persebaran proyek. Hampir di setiap kawasan Afrika terdapat proyek pembangkit listrik hasil kerja sama dengan perusahaan Tiongkok, baik yang bersumber dari tenaga surya, air, maupun panas bumi. Selain itu, proyek Tiongkok lebih cepat direalisasikan karena didukung tenaga kerja besar dan sistem logistik yang mapan.

Keunggulan lain Tiongkok ialah kemampuannya mengintegrasikan proyek energi ke dalam skema Belt and Road Initiative (BRI). Dengan demikian, proyek pembangkit listrik Tiongkok bukan hanya menyuplai energi lokal, tapi juga menopang jaringan logistik dan kawasan industri Tiongkok di Afrika.

Meski demikian, Rusia perlahan mulai mengejar ketertinggalannya dengan strategi khusus di sektor nuklir. Reaktor modular yang ditawarkan Rosatom dapat menjadi solusi strategis bagi negara-negara Afrika yang tidak memiliki jaringan listrik nasional luas, tapi membutuhkan energi stabil untuk wilayah tertentu.

Secara geopolitik, masuknya Rusia ke pasar energi Afrika tentu memanaskan persaingan di benua itu. Negara-negara Barat yang selama ini mendominasi sektor energi fosil mulai khawatir kehilangan pengaruh. Kehadiran proyek nuklir Rusia dan listrik Tiongkok turut membentuk konfigurasi kekuatan baru di Afrika.

Kedua negara juga berusaha memanfaatkan ketegangan politik regional sebagai celah masuk. Tiongkok aktif di Afrika Timur dan Selatan, sementara Rusia banyak bergerak di Afrika Barat dan kawasan Sahel, wilayah yang kini menghadapi instabilitas keamanan dan konflik bersenjata.

Pakar energi memperkirakan bahwa dalam 10 tahun ke depan, Tiongkok masih akan mendominasi proyek listrik di Afrika secara kuantitas. Namun, Rusia berpotensi merebut ceruk pasar khusus di sektor nuklir karena teknologinya yang relatif lebih sesuai dengan kondisi geografis dan kebutuhan energi Afrika.

Jika ditinjau dari dampak sosial, proyek Tiongkok kerap mendapat kritik karena minimnya transfer teknologi dan ketergantungan terhadap tenaga kerja asing. Sebaliknya, Rusia berjanji memberikan pelatihan dan transfer teknologi bagi SDM lokal, sesuatu yang mulai menarik perhatian negara-negara Afrika.

Burkina Faso menjadi contoh awal keberhasilan diplomasi energi Rusia. Negara itu juga berpotensi menjadi basis ekspansi Moskow ke negara tetangga di Afrika Barat. Sementara Tiongkok akan terus memperluas proyeknya lewat pendanaan masif dan sinergi dengan proyek infrastruktur lain dalam kerangka BRI.

Persaingan ini pada akhirnya membawa manfaat bagi Afrika, yang selama ini mengalami defisit listrik kronis. Dengan banyaknya opsi dan kompetisi antar mitra global, negara-negara Afrika dapat memilih proyek yang paling sesuai dengan kebutuhan, kondisi politik, dan kapasitas ekonomi masing-masing.

Secara keseluruhan, meskipun Tiongkok masih unggul secara kuantitas dan akses pendanaan, Rusia mulai menunjukkan taring di sektor nuklir Afrika. Jika strategi diplomasi energi Rosatom berjalan konsisten dan didukung stabilitas politik di kawasan, bukan tak mungkin Rusia menjadi rival utama Tiongkok dalam beberapa tahun ke depan.

Share on Google Plus

About marbun

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment