Penemuan mesin akselerator implantasi ion oleh sumihar hutapea, kepala instalasi fasilitas akselerator, batan, yogya. berfungsi mengubah sinar matahari menjadi listrik. (ilt)
LIMA belas tahun bergelut dengan tegangan tinggi, akhirnya Sumihar Hutapea, M. Sc. berhasil membuat mesin akselerator implantasi ion yang pertama di Indonesia.
Berfungsi memproduksikan sel surya, yang dapat mengubah sinar matahari langsung menjadi listrik, awal bulan lalu mesin dengan berat sekitar satu ton itu dipamerkan di kompleks Penelitian Tenaga Atom, Pasar Jumat, Jakarta.
Dengan kapasitas tegangan 200 kilo volt, di luar negeri harga mesin seperti ini bisa mencapai Rp 200 juta. Tapi Sumihar, bersama anak buahnya, mampu merakit mesin yang sama dengan harga Rp 50 juta. "Sebagian besar bahan dan komponen menggunakan stok dalam negeri," ujar Sumihar, 45, kepala Instalasi Fasilitas Akselerator, Badan Tenaga Atom Nasional (Batan), Yogyakarta.
Tujuan penemuan Sumihar ialah membuat sel surya dengan biaya murah dan efisiensi tinggi. Maka, ia memilih bahan baku pasir silikon, yang memerlukan akselerator. Pasir ini berfungsi sebagai konvertor, bukan bahan bakar.
"Ia hanya mengubah sinar matahari menjadi listrik," kata Sumihar yang juga dosen tidak tetap pada Fakultas Teknik Nuklir, UGM. Mesin akselerator ini dirancang untuk membuat semikonduktor jenis P atau N, dengan cara pencangkokan ion-ion dopan, misalnya boron dan fosfor, pada keping silikon.
Mesin ini mempercepat partikel bermuatan, yaitu ion, dan mencangkokkannya pada suatu bahan. Di dalam sistem periodik, terdapat yang disebut unsur-unsur grup IV (germanium, silikon). Di sebelah kirinya, terdapat unsur-unsur grup III (boron, aluminium, galium, indium), dan di kanan unsur-unsur grup V (fosfor, nitrogen, dll).
Kalau ke dalam unsur-unsur grup IV dicangkokkan salah satu unsur grup III, misalnya boron, maka terjadi semikonduktor jenis P (positif). Bila unsur grup V dicangkokkan ke unsur grup IV, terjadi semikonduktor Jems N (negatif). Karena itu, unsur grup II disebut akseptor, dan unsur grup V disebut donor.
Misalkan akselerator menembakkan salah satu unsur grup III, misalnya fosfor, ke dalam unsur grup IV. Kemudian dicangkokkan lagi unsur grup V. Maka, di dalam silikon akan terdapat bidang batas, atau gandengan, yang disebut bidang batas P-N. "Bila sinar matahari jatuh pada silikon, dan mengenai bidang batas, terjadilah listrik," ujar Sumihar, sarjana fisika nuklir lulusan Universitas Leningrad, Uni Soviet, 1967.
Ada tiga bagian pokok mesin akselerator Sumihar: sumber ion, sumber tegangan tinggi dan tabung akselerator. Di dalam sumber ion inilah atom-atom grup III dan grup V diproduksikan menjadi ion-ion dari atom bermuatan netral. "Mengubah atom menjadi ion itu bukan perkara gampang," kata Sumihar. Demikian pula sumber tegangan tinggi dan 5 KV sampai 300 KV, atau bahkan 400 KV. Medan listrik di dalam tabung akselerator harus homogen. Untuk itu, tabung harus betulbetul hampa udara (I0-6 mmHg). Maka, digunakan pompa vakum, pompa rotasi, dan difusi.
Kalau tidak hampa, ion-ion yang dipercepat itu bisa bertabrakan dengan atom atom. Untuk membuat sel surya berkualitas tinggi, Sumihar memasang peralatan tambahan di samping ketiga akselerator pokok tadi. Alat itu ialah lensa kuadrupol, magnet analyzer, dan beam scanner. Metode akselerator implantasi ion memang lebih unggul ketimbang metode konvensional, difusi umpamanya. Dengan implantasi, energi dopan dapat diubah dengan mengubah besar tegangan akselerator.
Besar konsentrasi dopan ke dalam silikon dapat diubah dengan mengubah besar arus akselerator. Dengan kata lain, banyaknya dopan yang diimplantasikan ditentukan oleh besarnya arus dan lamanya penyinaran. Dengan implantasi pula, konsentrasi total dan kemurnian ion dapat dikontrol dengan teliti. Selanjutnya, konsentrasi sebagai fungsi kedalaman pada target silikon dapat dikontrol dengan mengubah energi ion.
"Pada metode implantasi ini, dua variabel bisa diubah sesuka kita," kata Sumihar, lelaki Batak kelahiran Balige. "Kedua variabel itu adalah arus dan tegangan listrik." Pada metode difusi hanya satu variabel, yaitu suhu, yang dapat diubah. Keuntungan lainnya, sistem akselerator ini lebih sederhana. Sistem pendingin pada tegangan tinggi tidak diperlukan, dan pengendali peralatan tidak ruwet.
Kelemahannya, untuk ion bertenaga tinggi dibutuhkan elektromagnet kuat. Untuk ion berat, tenaganya harus lebih rendah. Sel surya juga sangat tergantung pada sinar matahari. Masalah sel surya sekarang ini ialah bagaimana menyimpan tenaga matahari itu selama 12 jam pada malam hari. "Usaha Sumihar patut didukung," ujar Prof. Dr. Ir. Herman Johannes, guru besar fisika dan kimia, UGM. "Apalagi, dia membangun dengan bahan baku yang sebagian besar dibeli di pasar domestik."
Menurut Johannes, akselerator implantasi ion ini masih dalam taraf penelitian. Produksi selanjutnya tergantung pada masalah biaya, yang ternyata tidak sedikit. Soal biaya ini pula yang meragukan Dr. M.S.A. Sastroamidjojo, dari Pusat Penelitian Penerapan Tenaga Matahari (P3TM), UGM. Metode yang dikembangkan Sumihar, menurut Sastroamidjojo, "merupakan bagian teknologi tinggi". Dan karena itu "Pada hakikatnya sangat mahal." Kecuali bila bisa dipakai beribu-ribu atau berjuta-juta sel per jam, dan diterapkan secara kontinyu. Sumihar sendiri ingin menekan biaya produksinya menjadi Rp 20 juta. "Tapi itu masih cita-cita," katanya.
Soalnya, pompa rotasi dan mimyak difusi yang dlbutuhkan mesin akselerator itu masih harus diimpor. Tapi, ia yakin, "sel surya merupakan energi masa depan Indonesia yang bisa membikin kita makmur". Pada mulanya, akselerator implantasi ion digunakan untuk membuat peralatan atau komponen elektronik. Maka, seperti diakui Prof. Johannes, "memang Hutapea yang pertama kali menerapkan metode akselerator implantasi ion di Indonesia."
Sumihar sendiri, bila biaya mengizinkan, "mau membuat dan membariskan 100 akselerator." Tapi, ia sadar, kemungkinan itu kecil. Pemerintah, dalam hal ini Batan, hanya menyediakan Rp 4 juta per tahun. "Nah, kapan bisa jadi ?" katanya.
Blogger Comment
Facebook Comment