PT Medco Energi Internasional Tbk. menyatakan keseriusannya menggarap proyek pembangkit listrik tenaga nuklir. Penasihat direksi Grup Medco, Arifin Panigoro, mengatakan pihaknya akan menjadi kontraktor listrik swasta (independent power producer) untuk menggarap proyek PLTN tersebut. “Medco serius,” ujarnya kemarin.
Menurut Arifin, sebagai tahapan awal, Medco mempersiapkan sumber daya manusianya melalui pendidikan, sehingga proyek PLTN ini nantinya benar-benar siap. Selain itu, secara teknis Medco akan mempersiapkan streaming dan persiapan teknis. Total investasi diperkirakan sekitar US$ 3 miliar. “Kapan Medco masuknya? Ya, negaralah yang menentukan,” katanya.
Pada Rabu lalu, PT Medco Energi Internasional Tbk. menandatangani nota kesepahaman dengan Korea Hydro and Nuclear Power Co. Ltd. (KHNP) untuk proyek PLTN di Seoul, Korea Selatan. Nota kesepahaman itu tentang kerja sama proyek persiapan bisnis PLTN di Indonesia dengan menggunakan skema listrik swasta. Perjanjian antara Medco dan KHNP dilakukan secara bisnis dan didasari kesepakatan antarpemerintah, yang ditandatangani pada Desember 2006.
Menurut Arifin, Medco belum terikat secara penuh dengan perusahaan Korea tersebut. Namun, saat ini Korealah yang agresif menawarkan kerja sama proyek PLTN. “Medco terbuka, dengan Jepang, Prancis, dan Korea. Tapi Korea sangat aktif,” katanya.
Sekretaris Jenderal Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Waryono Karno mengatakan pihaknya sedang melakukan kajian dengan Badan Tenaga Nuklir Nasional terkait dengan rencana pembangunan PLTN.
Departemen Energi, kata dia, hingga kini masih menunggu peraturan presiden yang akan mengatur pihak yang berwenang (leading sector) dalam proyek PLTN. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Nuklir belum menentukan leading sector.
Pengamat energi Kurtubi mengatakan pemerintah seharusnya memanfaatkan sumber energi primer, seperti batu bara, gas, dan panas bumi, ketimbang memilih energi nuklir. Potensi energi selain nuklir tersebut hingga kini belum dikembangkan secara maksimal. “Semuanya belum dimanfaatkan oleh pemerintah menjadi sumber energi,” katanya kepada Tempo.
Dia menjelaskan cadangan batu bara di Indonesia merupakan yang terbesar di dunia. Hingga kini pemanfaatan batu bara belum maksimal dan lebih banyak digunakan untuk pembangkit. Nuklir, kata Kurtubi, merupakan pilihan terakhir jika semua sumber energi primer sudah dimanfaatkan secara maksimal.
Menurut dia, selain batu bara, cadangan gas dan panas bumi di Indonesia masih besar dan belum dikembangkan secara maksimal. “Jadi manfaatkan dulu sumber energi primer tersebut sebelum menggunakan nuklir,” katanya.
Kurtubi mengatakan yang harus diperbaiki oleh pemerintah adalah manajemen pengelolaan energi primer. Sebagai contoh, kata dia, saat ini manajemen pengelolaan gas yang ditangani Departemen Energi masih kacau. “Tidak jelas berapa kebutuhan dan pasokan gas di Indonesia. Kok ada industri kekurangan gas, padahal cadangan gas masih banyak,” ujarnya. NIEKE INDRIETTA | ALI NUR YASIN
Proyek Tertunda
Pro-kontra mengenai pembangunan listrik tenaga nuklir di Semenanjung Muria, Jawa Tengah, muncul sejak 13 tahun lalu. Ketika itu, penguasa Orde Baru, Soeharto, pada 1994 memutuskan menunda pembangunan pembangkit berbahan uranium tersebut akibat penolakan yang dilakukan organisasi lingkungan dan masyarakat.
Pada masa pemerintah Megawati Soekarnoputri, pemerintah menyatakan akan melanjutkan kembali proyek PLTN di Muria. Megaproyek tersebut kini dilanjutkan kembali pada masa pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono.
Rencana Pembangunan PLTN Masa Orde Baru
# 1989. Soeharto menginstruksikan agar dilakukan usaha persiapan sebaik-baiknya untuk membangun PLTN di Indonesia. Studi kelayakan dan pembangunan PLTN oleh konsultan Jepang, NewJec Inc. (New Japan Engineering Consult Inc). Konsultan itu melakukan studi tapak dan studi kelayakan selama empat setengah tahun, terhitung sejak Desember.
# 1993. NewJec menyerahkan dokumen studi kelayakan ke Badan Tenaga Nuklir Nasional. NewJec merekomendasikan studi nontapak, secara ekonomis, PLTN kompetitif dan dapat dioperasikan pada jaringan listrik Jawa-Bali pada awal 2000. Calon tapak-tapak berada di Ujung Lemahabang, Grenggengan, dan Ujungwatu, Muria, Jepara, Jawa Tengah. Direncanakan pada 1997 PLTN mulai dibangun hingga 2003. Pada 2005, proyek pembangkit listrik dengan bahan baku uranium dengan kapasitas 7.000 megawatt dengan 12 reaktor siap beroperasi.
# 1994. Tokoh nasional dan masyarakat, di antaranya KH Abdurrahman Wahid (saat itu Ketua Umum PB NU), menyatakan menolak pembangunan PLTN. Penolakan pembangunan PLTN juga meluas hingga ke anggota parlemen. Pemerintah Soeharto menunda pembangunan PLTN.
Rencana Pembangunan Kembali PLTN Muria (pasca-Orde Baru)
# 2003. Pemerintah melakukan sosialisasi kembali rencana pembangunan PLTN.
# 2006. Badan Tenaga Nuklir menetapkan Ujung Lemahabang, Semenanjung Muria, Jepara, Jawa Tengah, sebagai lokasi PLTN.
# 2008. Tender proyek pembangunan PLTN.
# 2009. Pemerintah sudah harus mendapatkan kepastian pendanaan pembangunan pembangkit nuklir senilai US$ 9 miliar.
# 2011. Pembangunan reaktor pembangkit mulai dilakukan.
# 2017. PLTN siap beroperasi dengan kapasitas awal 2.000 megawatt.
ali nur yasin | diolah dari berbagai sumber
Lawatan DPR Dibiayai Lembaga Asing
Tempo Interaktif.com
Jum’at, 27 Juli 2007
“Kepergian mereka bukan dalam rangka program Dewan.” JAKARTA — Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman memastikan kunjungan para anggota Komisi Lingkungan Hidup Dewan Perwakilan Rakyat bersamanya ke Korea Selatan dan Jepang dibiayai oleh dua lembaga dari negara-negara tersebut. “Mereka membiayai kunjungan ke pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), pabrik nuklir, dan pertemuan dengan lembaga nonpemerintah yang pro dan kontra,” kata Kusmayanto dalam konferensi persnya kemarin di kantor Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
“Awalnya saya ragu-ragu. Tapi akhirnya saya memilah-milah, sehingga saya mengambil dari dana tersebut,” Kusmayanto menambahkan. Dari total bantuan dana Rp 2,5 miliar, sebagian di antaranya dipakai membiayai tiket pesawat, hotel, dan akomodasi selama kunjungan dari 22 Juli hingga 2 Agustus nanti itu. Kusmayanto enggan menyebut jumlah pastinya untuk setiap orang.
Menteri Kusmayanto menerangkan total biaya sosialisasi PLTN Muria, yang sedang dikerjakan lembaganya, adalah Rp 7,5 miliar. Dari jumlah itu, Rp 5 miliar berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2007. “Selebihnya merupakan bantuan Koica (Korean International Cooperation Agency) dan Jetro (Japan External Trade Organization),” kata Kusmayanto. “Dana itu antara lain dipakai untuk studi banding, sosialisasi, dan penulisan buku untuk sekolah di sekitar lokasi tapak PLTN.”
Sampai kemarin malam Tempo tak berhasil meminta penjelasan dari para anggota Dewan yang disebutkan turut dalam rombongan. Tak satu pun nomor telepon mereka dapat dikontak. Mereka, antara lain, Zulkiflimansyah dari Partai Keadilan Sejahtera, Agusman Effendi dan Zainuddin Amali dari Partai Golkar, serta M. Najib dan Tjatur Sapto Edi dari Partai Amanat Nasional.
Ketua DPR Agung Laksono berjanji akan menyelidiki dan menanyai para anggota Dewan itu tentang hal-ihwal dana yang mereka gunakan. Ia berharap mereka tak terlibat hal-hal yang bisa dianggap sebagai gratifikasi mengingat kunjungan ini berkait dengan kebijakan pembangunan PLTN Muria. Jika itu sampai terjadi, Agung menegaskan hal tersebut “tidak bisa ditoleransi”.
Sehubungan dengan dugaan adanya anggaran ganda dalam kunjungan itu, Sekretaris Jenderal DPR Faisal Djamal memastikan kegiatan para anggota Komisi Lingkungan tersebut tidak menggunakan anggaran DPR. “Kami tidak mengetahui kepergian mereka,” ujarnya. “Kepergian mereka bukan dalam rangka melaksanakan program kerja Dewan.”
Faisal, yang dihubungi kemarin, mengaku hanya mendengar kabar melalui media. Menurut dia, alokasi anggaran dari Sekretariat DPR untuk kunjungan ke luar negeri bagi Komisi Lingkungan sudah digunakan satu bulan lalu untuk keperluan studi banding Undang-Undang Energi. Setiap tahun, katanya lagi, anggota Dewan mendapat satu kesempatan pergi ke luar negeri atas tanggungan biaya DPR.
Hingga tadi malam, Tempo belum berhasil mendapat keterangan dari perwakilan Koica dan Jetro di Indonesia. Hendi Mustofa, Asisten Teknis Jetro di Indonesia, hanya mengatakan, “Memang ada kerja sama itu, tapi saya tidak berkapasitas memberikan keterangan.”SORTA | ERWIN | AQIDA
Proyek Nuklir Tetap di Muria
Kamis, 26/07/2007 17:38 WIB
Alih Istik Wahyuni – detikfinance
Jakarta – Untuk tetap menghasilkan listrik yang murah, proyek perdana Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) tidak akan pindah dari Semenanjung Muria, Jawa Tengah.
Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional Hudi Hastowo menjelaskan, Semenanjung Muria adalah satu-satunya lokasi yang memenuhi standar keamanan internasional.
Kalaupun ada lokasi lain, maka itu berada di luar Jawa, Bali dan Madura. Padahal, PLTN dibangun untuk memasok listrik ke interkoneksi Jawa-Madura-Bali (Jamali) yang permintaannya semakin membesar.
Jika dibangun di luar Jamali, maka itu listrik yang dihasilkan harus dibawa ke interkoneksi Jamali. Yang artinya, akan menambah biaya transportasi.
“Sejauh ini, memang baru itu (Semenanjung Muria),” katanya dalam jumpa pers tentang PLTN di gedung BPPT, Jakarta, Kamis (26/7/2007).
Ia menceritakan, lokasi PLTN dipilih sejak 1974. Awalnya ada 15 calon lokasi. Karena daerah pantai selatan Jawa dinilai tidak aman, maka tinggal 3 tapak di Semenanjung Muria.
“Lokasinya harus bebas vulkanologi, seismik, dan bebas banjir,” tambahnya.
Jika PLTN dibangun di Jamali, maka diperkirakan listrik yang dihasilkan berharga US$ 2 sen-US$ 4,5 sen per Kwh. Bersaing dengan listrik yang dihasilkan PLTU Mulut Tambang yang sekitar US$ 4 per Kwh.
Menurut Arifin, sebagai tahapan awal, Medco mempersiapkan sumber daya manusianya melalui pendidikan, sehingga proyek PLTN ini nantinya benar-benar siap. Selain itu, secara teknis Medco akan mempersiapkan streaming dan persiapan teknis. Total investasi diperkirakan sekitar US$ 3 miliar. “Kapan Medco masuknya? Ya, negaralah yang menentukan,” katanya.
Pada Rabu lalu, PT Medco Energi Internasional Tbk. menandatangani nota kesepahaman dengan Korea Hydro and Nuclear Power Co. Ltd. (KHNP) untuk proyek PLTN di Seoul, Korea Selatan. Nota kesepahaman itu tentang kerja sama proyek persiapan bisnis PLTN di Indonesia dengan menggunakan skema listrik swasta. Perjanjian antara Medco dan KHNP dilakukan secara bisnis dan didasari kesepakatan antarpemerintah, yang ditandatangani pada Desember 2006.
Menurut Arifin, Medco belum terikat secara penuh dengan perusahaan Korea tersebut. Namun, saat ini Korealah yang agresif menawarkan kerja sama proyek PLTN. “Medco terbuka, dengan Jepang, Prancis, dan Korea. Tapi Korea sangat aktif,” katanya.
Sekretaris Jenderal Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Waryono Karno mengatakan pihaknya sedang melakukan kajian dengan Badan Tenaga Nuklir Nasional terkait dengan rencana pembangunan PLTN.
Departemen Energi, kata dia, hingga kini masih menunggu peraturan presiden yang akan mengatur pihak yang berwenang (leading sector) dalam proyek PLTN. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Nuklir belum menentukan leading sector.
Pengamat energi Kurtubi mengatakan pemerintah seharusnya memanfaatkan sumber energi primer, seperti batu bara, gas, dan panas bumi, ketimbang memilih energi nuklir. Potensi energi selain nuklir tersebut hingga kini belum dikembangkan secara maksimal. “Semuanya belum dimanfaatkan oleh pemerintah menjadi sumber energi,” katanya kepada Tempo.
Dia menjelaskan cadangan batu bara di Indonesia merupakan yang terbesar di dunia. Hingga kini pemanfaatan batu bara belum maksimal dan lebih banyak digunakan untuk pembangkit. Nuklir, kata Kurtubi, merupakan pilihan terakhir jika semua sumber energi primer sudah dimanfaatkan secara maksimal.
Menurut dia, selain batu bara, cadangan gas dan panas bumi di Indonesia masih besar dan belum dikembangkan secara maksimal. “Jadi manfaatkan dulu sumber energi primer tersebut sebelum menggunakan nuklir,” katanya.
Kurtubi mengatakan yang harus diperbaiki oleh pemerintah adalah manajemen pengelolaan energi primer. Sebagai contoh, kata dia, saat ini manajemen pengelolaan gas yang ditangani Departemen Energi masih kacau. “Tidak jelas berapa kebutuhan dan pasokan gas di Indonesia. Kok ada industri kekurangan gas, padahal cadangan gas masih banyak,” ujarnya. NIEKE INDRIETTA | ALI NUR YASIN
Proyek Tertunda
Pro-kontra mengenai pembangunan listrik tenaga nuklir di Semenanjung Muria, Jawa Tengah, muncul sejak 13 tahun lalu. Ketika itu, penguasa Orde Baru, Soeharto, pada 1994 memutuskan menunda pembangunan pembangkit berbahan uranium tersebut akibat penolakan yang dilakukan organisasi lingkungan dan masyarakat.
Pada masa pemerintah Megawati Soekarnoputri, pemerintah menyatakan akan melanjutkan kembali proyek PLTN di Muria. Megaproyek tersebut kini dilanjutkan kembali pada masa pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono.
Rencana Pembangunan PLTN Masa Orde Baru
# 1989. Soeharto menginstruksikan agar dilakukan usaha persiapan sebaik-baiknya untuk membangun PLTN di Indonesia. Studi kelayakan dan pembangunan PLTN oleh konsultan Jepang, NewJec Inc. (New Japan Engineering Consult Inc). Konsultan itu melakukan studi tapak dan studi kelayakan selama empat setengah tahun, terhitung sejak Desember.
# 1993. NewJec menyerahkan dokumen studi kelayakan ke Badan Tenaga Nuklir Nasional. NewJec merekomendasikan studi nontapak, secara ekonomis, PLTN kompetitif dan dapat dioperasikan pada jaringan listrik Jawa-Bali pada awal 2000. Calon tapak-tapak berada di Ujung Lemahabang, Grenggengan, dan Ujungwatu, Muria, Jepara, Jawa Tengah. Direncanakan pada 1997 PLTN mulai dibangun hingga 2003. Pada 2005, proyek pembangkit listrik dengan bahan baku uranium dengan kapasitas 7.000 megawatt dengan 12 reaktor siap beroperasi.
# 1994. Tokoh nasional dan masyarakat, di antaranya KH Abdurrahman Wahid (saat itu Ketua Umum PB NU), menyatakan menolak pembangunan PLTN. Penolakan pembangunan PLTN juga meluas hingga ke anggota parlemen. Pemerintah Soeharto menunda pembangunan PLTN.
Rencana Pembangunan Kembali PLTN Muria (pasca-Orde Baru)
# 2003. Pemerintah melakukan sosialisasi kembali rencana pembangunan PLTN.
# 2006. Badan Tenaga Nuklir menetapkan Ujung Lemahabang, Semenanjung Muria, Jepara, Jawa Tengah, sebagai lokasi PLTN.
# 2008. Tender proyek pembangunan PLTN.
# 2009. Pemerintah sudah harus mendapatkan kepastian pendanaan pembangunan pembangkit nuklir senilai US$ 9 miliar.
# 2011. Pembangunan reaktor pembangkit mulai dilakukan.
# 2017. PLTN siap beroperasi dengan kapasitas awal 2.000 megawatt.
ali nur yasin | diolah dari berbagai sumber
Lawatan DPR Dibiayai Lembaga Asing
Tempo Interaktif.com
Jum’at, 27 Juli 2007
“Kepergian mereka bukan dalam rangka program Dewan.” JAKARTA — Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman memastikan kunjungan para anggota Komisi Lingkungan Hidup Dewan Perwakilan Rakyat bersamanya ke Korea Selatan dan Jepang dibiayai oleh dua lembaga dari negara-negara tersebut. “Mereka membiayai kunjungan ke pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), pabrik nuklir, dan pertemuan dengan lembaga nonpemerintah yang pro dan kontra,” kata Kusmayanto dalam konferensi persnya kemarin di kantor Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
“Awalnya saya ragu-ragu. Tapi akhirnya saya memilah-milah, sehingga saya mengambil dari dana tersebut,” Kusmayanto menambahkan. Dari total bantuan dana Rp 2,5 miliar, sebagian di antaranya dipakai membiayai tiket pesawat, hotel, dan akomodasi selama kunjungan dari 22 Juli hingga 2 Agustus nanti itu. Kusmayanto enggan menyebut jumlah pastinya untuk setiap orang.
Menteri Kusmayanto menerangkan total biaya sosialisasi PLTN Muria, yang sedang dikerjakan lembaganya, adalah Rp 7,5 miliar. Dari jumlah itu, Rp 5 miliar berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2007. “Selebihnya merupakan bantuan Koica (Korean International Cooperation Agency) dan Jetro (Japan External Trade Organization),” kata Kusmayanto. “Dana itu antara lain dipakai untuk studi banding, sosialisasi, dan penulisan buku untuk sekolah di sekitar lokasi tapak PLTN.”
Sampai kemarin malam Tempo tak berhasil meminta penjelasan dari para anggota Dewan yang disebutkan turut dalam rombongan. Tak satu pun nomor telepon mereka dapat dikontak. Mereka, antara lain, Zulkiflimansyah dari Partai Keadilan Sejahtera, Agusman Effendi dan Zainuddin Amali dari Partai Golkar, serta M. Najib dan Tjatur Sapto Edi dari Partai Amanat Nasional.
Ketua DPR Agung Laksono berjanji akan menyelidiki dan menanyai para anggota Dewan itu tentang hal-ihwal dana yang mereka gunakan. Ia berharap mereka tak terlibat hal-hal yang bisa dianggap sebagai gratifikasi mengingat kunjungan ini berkait dengan kebijakan pembangunan PLTN Muria. Jika itu sampai terjadi, Agung menegaskan hal tersebut “tidak bisa ditoleransi”.
Sehubungan dengan dugaan adanya anggaran ganda dalam kunjungan itu, Sekretaris Jenderal DPR Faisal Djamal memastikan kegiatan para anggota Komisi Lingkungan tersebut tidak menggunakan anggaran DPR. “Kami tidak mengetahui kepergian mereka,” ujarnya. “Kepergian mereka bukan dalam rangka melaksanakan program kerja Dewan.”
Faisal, yang dihubungi kemarin, mengaku hanya mendengar kabar melalui media. Menurut dia, alokasi anggaran dari Sekretariat DPR untuk kunjungan ke luar negeri bagi Komisi Lingkungan sudah digunakan satu bulan lalu untuk keperluan studi banding Undang-Undang Energi. Setiap tahun, katanya lagi, anggota Dewan mendapat satu kesempatan pergi ke luar negeri atas tanggungan biaya DPR.
Hingga tadi malam, Tempo belum berhasil mendapat keterangan dari perwakilan Koica dan Jetro di Indonesia. Hendi Mustofa, Asisten Teknis Jetro di Indonesia, hanya mengatakan, “Memang ada kerja sama itu, tapi saya tidak berkapasitas memberikan keterangan.”SORTA | ERWIN | AQIDA
Proyek Nuklir Tetap di Muria
Kamis, 26/07/2007 17:38 WIB
Alih Istik Wahyuni – detikfinance
Jakarta – Untuk tetap menghasilkan listrik yang murah, proyek perdana Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) tidak akan pindah dari Semenanjung Muria, Jawa Tengah.
Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional Hudi Hastowo menjelaskan, Semenanjung Muria adalah satu-satunya lokasi yang memenuhi standar keamanan internasional.
Kalaupun ada lokasi lain, maka itu berada di luar Jawa, Bali dan Madura. Padahal, PLTN dibangun untuk memasok listrik ke interkoneksi Jawa-Madura-Bali (Jamali) yang permintaannya semakin membesar.
Jika dibangun di luar Jamali, maka itu listrik yang dihasilkan harus dibawa ke interkoneksi Jamali. Yang artinya, akan menambah biaya transportasi.
“Sejauh ini, memang baru itu (Semenanjung Muria),” katanya dalam jumpa pers tentang PLTN di gedung BPPT, Jakarta, Kamis (26/7/2007).
Ia menceritakan, lokasi PLTN dipilih sejak 1974. Awalnya ada 15 calon lokasi. Karena daerah pantai selatan Jawa dinilai tidak aman, maka tinggal 3 tapak di Semenanjung Muria.
“Lokasinya harus bebas vulkanologi, seismik, dan bebas banjir,” tambahnya.
Jika PLTN dibangun di Jamali, maka diperkirakan listrik yang dihasilkan berharga US$ 2 sen-US$ 4,5 sen per Kwh. Bersaing dengan listrik yang dihasilkan PLTU Mulut Tambang yang sekitar US$ 4 per Kwh.
Blogger Comment
Facebook Comment