Harus Berani: Mengejar Mimpi Pasok Energi Tenaga Nuklir
Meski usaha ke arah pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) sudah dirintis sejak awal 1950-an, hingga kini masyarakat Indonesia masih terjebak dalam pro dan kontra penggunaan sumber energi ini. Walhasil, hampir enam dekade lamanya bangsa ini berkutat dalam mimpi memenuhi kebutuhan energi dari tenaga nuklir.
"Kemajuan suatu bangsa tidak akan tercapai tanpa pasokan energi yang mencukupi. Meski sebagian masyarakat yakin kita kaya raya dengan sumber energi, namun semua itu ada batasnya, terutama sumber energi fosil. Energi terbarukan adalah jawaban dan nuklir termasuk di dalamnya," ujar begawan teknologi mantan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie saat menjadi pembicara dalam pernyataan Sikap Elemen Masyarakat Pendukung PLTN Menjamin Ketahanan Penyediaan Listrik Nasional di Jakarta, Rabu (3/2).
Menurut Habibie, krisis energi nasional seperti impor minyak mentah dan BBM yang terus meningkat setiap tahun hingga defisit pasokan listrik yang berkepanjangan hanya bisa diatasi dengan penggunaan energi terbarukan seperti nuklir.
"Saya berpendapat sudah waktunya dikeluarkan deklarasi mengenai PLTN. Saya mendukung penuh pembangunan PLTN, karena sudah tidak ada jalan lagi," kata Habibie.
Sepanjang pengabdiannya di birokrasi, sejak menjadi Menteri Riset dan Teknologi hingga menjabat Presiden, ia mengaku selalu mendorong penelitian dan pengembangan tenaga nuklir.
"Namun isu sosial politik di masyarakat kita sangat kencang terkait rencana pembangunan PLTN. Akibatnya pemerintah terjebak dalam kebijakan setengah hati untuk mengembangkan PLTN," ujar Habibie.
Karena itu, kini dorongan untuk melakukan upaya pemenuhan energi ini tidak bisa lagi bergantung dari kebijakan pemerintah.
"Saya rasa hal ini tidak selalu harus kita serahkan kepada pemerintah melulu," kata Habibie.
Karena itu ia mendukung pernyataan sikap yang dilontarkan Masyarakat Peduli Energi Lingkungan (MPEL), Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (HIMNI), Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Institut Energi Nuklir (IEN) dan Women in Nuclear-Indonesia.
Menurut Habibie, isu nuklir sering dianggap sensitif karena berkaitan dengan dampaknya yang dirasa membahayakan lingkungan dan makhluk hidup. Namun Habibie kemudian menampiknya.
"Itu berlebihan, kita sudah lakukan penelitian. Nuklir terbukti aman kalau semua kajian dan prosedur pengamanannya diterapkan secara maksimal dan bisa memenuhi kebutuhan hajat hidup orang banyak," tandas Habibie.
Ia memberikan gambaran, apabila seluruh pemangku kepentingan energi nuklir bersinergi, energi itu baru bisa hadir dalam bauran sumber energi listrik nasional minimal pada 2020.
"Payung hukumnya ada dalam UU Nomor 17/2007 tenteng Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Di sana disebutkan energi nuklir diharapkan sudah beroperasi pada 2015-2019. Tetapi, melihat kondisi sekarang, kalau pemerintah memiliki kebijakan pronuklir, baru pada 2020 bisa dibangun PLTN yang akan berkontribusi 2 giga watt (GW) dari total pasokan listrik nasional maksimal 70 GW," papar Habibie.
Selain itu, ketidaktegasan pemerintah dalam mengusung teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dianggap akan merugikan. Pasalnya, Indonesia akan tertinggal dengan negara lain yang telah lebih dulu mengembangkan nuklir.
Hal ini disampaikan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Komarudin Hidayat di kesempatan yang sama.
"Indonesia banyak orang pintar dan alam kita kaya. Tapi pemerintah tidak bisa memanfaatkannya. Jika tidak bisa memanfaatkannya, kita bisa rugi karena akan dimanfaatkan oleh orang lain. Bangsa kita akan terus dijajah oleh orang-orang itu," ujarnya.
Untuk itu menurut Komarudin, sikap pemerintah adalah harus tegas. Jika tidak, Indonesia akan ketinggalan dari negara-negara lain yang sudah lebih maju di bidang nuklir seperti Taiwan, Iran, China, Pakistan, dan India.
Selain mengkritik, Komarudin juga bersikeras agar teknologi nuklir dalam negeri tidak di intervensi negara maju.
"Kita harus berani melawan. Kalau tidak negara kita tidak akan ada wibawanya," tegasnya.
Di sisi lain, PT PLN (persero) selaku penyedia dan pendistribusi utama pasokan listrik nasional, menyatakan akan mematuhi kebijakan pemerintah terkait penggunaan tenaga nuklir ini.
"Kita tergantung kebijakan energi nasional seperti apa. Memang dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2009-2018 belum memasukkan adanya tenaga nuklir," ujar Direktur Perencanaan dan Teknologi PLN Nasri Sebayang di acara yang sama.
Menurut Nasri, keputusan tersebut tentunya memperhatikan perhitungan kelayakan ekonomis, teknis, dan ketersediaan energi nasional. "Proyeksi ke depan harus dikaitkan faktor sosial, ekonomi, politik. Meski demikian, kajian tetap kami lakukan dan teknologi kita ikuti. Kita tunggu kebijakan pemerintah," pungkas Nasri.
Di sisi lain, meski rencana pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, Jepara, Jawa Tengah, ditentang oleh masyarakat sekitar, di daerah lain permintaan pembangunan PLTN justru mengemuka.
"Kami telah mengalokasikan lahan 2,4 ribu hektare di Pulau Lepa dan 2,5 ribu hektare di Pulau Nanduk untuk membangun pembangkut berkapasitas 3 ribu MW. Kalau dibangun, tidak hanya bisa memenuhi pasokan listrik Bangka Belitung 500 MW, bahkan bisa membantu pasokan listrik di Jawa, Bali, dan Sumatra," ujar Walikota Pangkal Pinang, Provinsi Bangka Belitung, Zulkarnain Karim.
Selain Babel, Kalimantan Timur dan Banten termasuk wilayah yang direncanakan akan menjadi lokasi pembangunan PLTN.
Blogger Comment
Facebook Comment